Saturday 2 January 2010

Haramkah Menggunakan Logika dan Akal

Pertanyaan

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

ustad, saya mau tanya. Saya bingung.

Selama ini saya membaca dalam Al-Qur'an bahwa Allah sangat mendukung sekali ssorg yg menggunakan akalnya. BAnyak ayat2 terkait yg menunjukkan bahwa ayat2 Allah hanya bisa dipahami oleh orang2 yang berakal, namun sering teman2 seperjuangan mengatakan bahwa kita tidak boleh menggunakan akal / logika dalam agama ?

Mengapa ada semacam sekulerisme / pemisahan antara akal dalam khidupan sosial dan agama? apa memang akal saat ini telah menjadi haram ?? jika haram, lantas untuk apa Allah Menciptakan akal pada manusia yg justru membedakannya dengan makhluk yang lain.

Syukron atas jawabannya ustad

Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

indri


Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Dalam konsep Islam, dalil akal dengan dalil wahyu, diposisikan seiring dan sejalan. Dalil wahyu tanpa didukung dengan dalil akal akan mengalami kebingungan. Sebaliknya, dalil akal tanpa dikawal dengan dalil wahyu, juga akan tersesat. Maka keduanya berjalan bersamaan, bukan dipertentangkan. Mempertentangkan kedua, seolah-olah keduanya bermusuhan, adalah tindakan tidak masuk akal, sekaligus juga tidak bisa diterima secara wahyu.



Islam tidak mengharamkan kita menggunakan akal. Yang diharamkan adalah bila akal digunakan bukan pada tempatnya. Sebenarnya bukan hanya akal yang haram digunakan bukan pada tempatnya. Apapun yang berharga dan berguna, tapi kalau digunakan bukan pada tempatnya, tentu tidak bisa dibenarkan.

Sebagai ilustrasi, akal mengatakan bahwa tanah itu kotor. Tapi disisi lain, Quran menetapkan bila kita mau wudhu tapi tidak ada air, maka kita disyariatkan untuk tayammum dengan menggunakan tanah. Dalam kasus ini, akal tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk menolak hukum Al-Quran, apalagi untuk menolak kebenaran yang ada di dalamnya.

Mengapa dalam perkara tayammum ini kita tidak menggunakan akal yang mengatakan bahwa tanah itu kotor?

Jawabnya, karena perkara tayammum memang buka konsumsi akal. Tujuan bertayammum adalah berthaharah, bukan membersihkan diri. Keduanyang memang berbeda. Berthaharah adalah bersuci secara ritual yang patokannya ayat atau hadits. Sedangkan membersihkan diri adalah menjaga kebersihan yang rujukannya menggunakan akal.

Tetapi dalam kasus yang lain, akal bisa berjalan seiring dengan agama. Bahkan syarat untuk beragama, seseorang harus berakal. Bila seorang tidak berakal, lalu dia menjalankan hukum-hukum agama, maka apa yang dilakukan itu justru tidak diterima Allah SWT.

Karena itulah orang gila tidak diwajibkan untuk menjalankan agama, karena orang gila tidak punya akal. Demikian juga anak kecil tidak dikenakan hukum dosa, karena anak kecil belum sempurna akalnya. Bahkan orang yang tidur juga tidak dikenakan perintah, karena akalnya sedang istirahat. Cuma begitu dia bangun, dia wajib mengerjakan kewajibannya.

Bahkan orang yang sedang puasa, tapi karena lupa, lantas dia makan dan minum, tidak dianggap batal puasanya. Hal itu karena saat itu akalnya sedang tidak berjalan dengan sempurna.

Maka kita tidak bisa mengatakan bahwa selamanya akal itu bertentangan dengan agama. Akal punya banyak kesempatan untuk berjalan beriringan dengan agama. Bahkan dalam porsi tertentu, akal memang harus lebih dikedepankan dari pada dalil-dalil yang jumlahnya terbatas.

Sebagai misal, dahulu Rasulullah SAW membayar zakat dengan kurma. Hal ini didukung dengan dalil-dalil hadits yang shahih. Sebaliknya, kita belum pernah mendapati dalil yang mengatakan bahwa beliau membayar zakat dengan beras, jagung atau makanan lainnya.

Dengan menggunakan nalar dari akal, ketika seseorang hidup di negeri yang tidak ada kurma, atau bangsa itu memang tidak makan kurma sebagai makanan pokoknya, maka secara logika, kita tidak bisa memaksakan harus membayar zakat dengan kurma. Nalar akal kita akan mengatakan bahwa yang diperintahkan untuk dibayarkan sebagai zakat bukan kurma, melainkan makanan pokok yang dimakan bangsa itu.

Akal kita mengatakan bahwa Rasulullah SAW membayar zakat dengan kurma, lantaran beliau tinggal di negeri yang makanan pokoknya adalah kurma. Sementara, kalau ada suatu bangsa yang makanan pokoknya beras, maka mereka membayar zakat dengan beras, bukan dengan kurma.

Dalam contoh ini, akal punya peranan dan harus digunakan untuk menganalisa suatu dalil, lantas memahaminya dengan cara yang masuk akal dan tentu menggunakan kaidah yang bisa diterima.

Logika dan akal tidak selamanya harus dipertentangkan dengan dalil-dalil syar'i. Pada gilirannya, justru untuk menangkap pesan yang tersirat di balik dalil yang tersurat, kita perlu menggunakan akal.

Tetapi dengan catatan, akal yang digunakan bukan akal-akalan, yang tujuannya sekedar untuk mengakali dalil-dalil syar'i. Tujuan digunakannya akal dalam memahami dalil-dalil syar'i, justru untuk mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya.

Karena itu, akal tidak dibiarkan secara liar bermain-main dengan logika. Maka untuk itu ditetapkanlah kaidah-kaidah serta dasar-dasar pengambilan kesimpulan hukum dari dalil-dalil quran dan sunnah.

Secara sederhana, kaidah dan dasar itu kita sebut ilmu fiqih dan ilmu ushul fiqih. Keduanya, sangat membutuhkan akal dan nalar serta logika dalam menjalankan perannya. Tetapi tetap berada pada koridor yang benar.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

- dari: rubrik konsultasi syariah warnaislam.com -

0 comments:

 

Tags

My Blog List

Followers

generasi muslim Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template