Sunday 24 January 2010

KEADAAN MUKMIN DAN KAFIR KETIKA MATI

dakwatuna.com – Rasulullah saw bersabda: “Orang mukmin ketika datang kematiannya –ia didatangi al basyir (pembawa kabar gembira) dari Allah, maka tidak ada yang paling menyenangkan bagi orang mukmin ini dibandingkan berjumpa dengan Allah. Maka Allah akan senang menemuinya. Sesungguhnya orang fajir (pecandu dosa) atau orang kafir jika menghadapai kematian, akan datang padanya keburukan yang pernah diperbuatnya, atau menemui keburukan-keburukan lain. Sehingga ia enggan berjumpa dengan Allah, dan Allah enggan menemuinya.

Ketika orang beriman menghadapi kematian akan turun Malaikat rahmat yang menenangkannya, memberikan kabar gembira ridha Allah, Allah bukakan baginya pintu-pintu surga. Ia melihat nikmat dan kemewahannya, sehingga lapang dadanya dan senang berjumpa dengan Rabbnya. Firman Allah:

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” Kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang Telah dijanjikan Allah kepadamu”. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta.” (Fushshilat: 30-31)

Sedangkan orang yang enggan, maka mereka tersiksa dengan kematiannya, dan dipaksa menemui Rabbnya. Firman Allah:

“Kalau kamu melihat ketika para malaikat mencabut jiwa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka (dan berkata): “Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar”, (tentulah kamu akan merasa ngeri).” (Al-Anfal: 50)

DATANG MENDADAK

Ada di antara orang yang berkata: “Nanti saya akan bertaubat”

Orang yang belum tepat Islamnya, orang yang belum tepat memahami kematian. Apakah pernah ada kesepakatan dengan kematian, sehingga ia tidak mati kecuali setelah bertaubat? Apakah ada seseorang di muka bumi ini meyakini dengan pasti bahwa ia akan hidup sampai esok hari? Atau orang yang mengatakan demikian telah membuat janji demikian di hadapan Allah. Firman Allah:

“Sesungguhnya Allah, Hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok[1]. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)

Demikianlah kematian ada di tangan Allah. Tidak ada seorangpun yang tahu kapan kematian itu akan datang menghampirinya. Maka orang yang berfikir akan bersegera mengerjakan amal shalih sebelum kematian mendahuluinya.

RINGKASAN

Mati dan hidup ada di tangan Allah. Pencipta mati dan hidup, bukan di tangan berhala atau kehendak alam, yang tidak memiliki bagi dirinya sendiri hidup dan mati. Mati atau perpindahan dari ruang amal menuju ke ruang pembalasan. Kematian adalah keharusan bagi setiap manusia, tiada tempat berlari darinya, maka wajib mempersiapkan diri untuk pasca kematian.

Catatan:

[1] Maksudnya: manusia itu tidak dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakannya besok atau yang akan diperolehnya, namun demikian mereka diwajibkan berusaha.

tiga kepastian

Jibril as bertugas menyampaikan wahyu dari Allah swt, namun saat ia datang. kepada Rasulullah saw ternyata tidak hanya wahyu yang disampaikannya tapi juga ada pesan-pesan khusus darinya yang disampaikan kepada Nabi, ini menunjukkan betapa penting pesan-pesan yang disampaikannya.

Meskipun demikian, pesan-pesannya yang baik itu tidak hanya ditujukan kepada Nabi, tapi sebenarnya kepada kita semua. Karenanya kitapun harus memahaminya dengan baik agar dapat kita jalani untuk kebaikan dalam hidup kita di dunia dan akhirat yang bahagia.

Diantara sekian banyak pesan mataikat Jibri! kepada Rasululiah saw adalah : “Hiduplah engkau seberapapun lamanya, namun engkau pasti akan mati. Cintailah siapa saja yang engkau sukai, namun engkau pasti akan berpisah dengannya. Beramallah semaumu, namun engkau pasti akan mendapat balasannya” (HR. Baihaki).

Pesan malaikat Jibril di atas yang perlu kita pahami menunjukkan adanya tiga kepastian yang tidak bisa kita hindari terjadi pada kita, cepat atau lambat.

1. Kepastian Mati

Mati merupakan suatu kepastian, apalagi sudah terbukti bahwa sepanjang adanya kehidupan telah ada kematian. Karena itu manusia boleh saja menginginkan hidup lama bahkan seberapapun lamanya tapi ia tidak bisa mencegah dirinya dan kematian bila saatnya sudah tiba,sehebat dan sekuat apapun dirinya.

Fir’aun sang raja yang kuat dan ditakuti orang sudah lama mati dan menjadi catatan sejarah, Qarun yang kaya raya juga sudah lama mati dan menjadi bukti sejarah betapa orang kaya tidak boleh sombong, para Nabi juga sudah mati dan kematian itu berkeliling dunia untuk menjemput manusia satu demi satu kembali ke kampung akhirat.

Allah swt berfirman: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya) dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan” (QS Al-Anbiya[21]:35)

Karena kematian tidak bisa dihindari, maka meskipun manusia berusaha untuk menghindarinya, tetap saja ia akan datang juga menemui siapapun bila memang sudah tiba saatnya.

Allah swt berfirman: “Katakanlah; Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, Maka Sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS Al Jumuati [62]:8).

Bahkan manusia juga tidak bisa menghindari kematian bila memang sudah tiba saatnya meskipun ia berada di benteng pertahanan yang tinggi lagi kokoh, hal ini ditegaskan dalam firman Allah swt: “Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, Kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: ‘Ini adalah dari sisi Allah’, dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: ‘ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)’. Katakanlah: ‘Semuanya (datang) dari sisi Allah’. Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik). Hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS An Nisa [4]:78).

Karena mati merupakan suatu kepastian, satu hal yang harus kita sadari bahwa ternyata mati itu bukanlah akhir dari kehidupan manusia, tapi sebenamya awal dari fase kehidupan yang baru, yaitu kehidupan akhirat yang enak atau tidaknya sangat tergantung pada bagaimana ia menjalani kehidupan di dunia ini.

Bila kita sudah menyadari kepastian adanya kematian, maka kita tidak akan mensia-siakan kehidupan di dunia yang tidak lama. Kita akan berusaha mengefektifkan perjalanan hidup di dunia ini untuk melakukan sesuatu yang bisa memberikan nilai positif, tidak hanya dalam kehidupan di dunia tapi juga di akhirat karena kehidupan dunia merupakan saat mengumpulkan bekal yang sebanyak-banyaknya untuk kebahagiaan dalam kehidupan di akhirat.

Karena kematian pada hakikatnya adalah perjumpaan dengan Allah swt yang tentu saja harus dengan bekal amat shaleh yang sebanyak-banyaknya, sebagaimana firman-Nya: “Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya” (QS Al Kahfi [18]:110).

2. Kepastian Berpisah Dengan Kekasih.

Manusia boleh saling mencintai antara saiu dengan lainnya, suami pada isteri atau sebaliknya, orang tua pada anak atau sebaliknya, rakyat terhadap pemimpin atau sebaliknya, sahabat dengan sahabat dan sebagainya.

Namun kecintaan kepada manusia tidaklah abadi, karenanya jangan sampai kita mencintai manusia secara berlebihan karena pasti kita akan berpisah dengan orang yang kita cintai, adakalanya kita lebih dahulu meninggalkannya atau kita yang ditinggalkan oleh orang yang kita cintai.

Karenanya malaikat Jibril mengingatkan kita semua bahwa kita pasti berpisah dengan orang yang sangat kita cintai sekalipun, sehingga agar tidak terlalu berat dalam perpisahan, kita harus mencintai manusia sekadarnya, sedangkan yang harus paling kita cintai adalah Allah swt dan Rasul-Nya.

Allah swt berfirman: “Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selainAllah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada” (QS Al-Baqarah[2]:165).

Di dalam ayat lain, Allah swt mengingatkan kita agar mencintai apapun dan siapapun tidak lebih dari kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya serta perjuangan di jalan-Nya karena hal ini akan membuat kita menjadi semakin jauh dari petunjuk hidup yang benar.

Sebagaimana firman-Nya: “Katakanlah, jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik” (QS At Taubah [9]:24).

Meskipun sudah diingatkan, ternyata banyak sekali manusia yang mencintai sesuatu sangat dalam cintanya sehingga pada saatnya berpisah dengan yang dicintainya itu ia tidak memiliki kesiapan mental yang memadai, saat keluarga atau orang yang dicintainya harus pergi ke wilayah yang jauh untuk sesuatu yang penting, maka ia tidak rela melepaskannya, apalagi sampai meninggal dunia yang mengakibatkan duka yang terlalu dalam sampai terjadinya goncangan jiwa atau gangguan mental sehingga kehidupan tidak bisa dijalaninya dengan baik, bahkan tidak memiliki gairah hidup.

3. Kepastian Balasan Amal

Dunia ini tempat beramal, kenyataan menunjukkan bahwa banyak manusia yang beramal shaleh, namun banyak pula yang beramal salah. Allah swt memberikan kebebasan kepada manusia tentang amal apa yang mau mereka lakukan, karena hasilnya terpulang kepada manusia itu sendiri.

Amal shaleh akan membuat pelakunya merasakan kenikmatan dan kebahagiaan dalam kehidupan dunia dan akhirat, sedangkan amal salah akan membuat pelakunya mengalami penderitaan dan kesengsaraan di dunia maupun di akhirat.

Apa yang hendak kita lakukan harus dipertimbangkan secara matang, jangan asal melakukan apalagi sekadar ikut-ikutan dengan orang lain karena apapun yang kita lakukan pasti akan dimintai pertanggung-jawabannya dihadapan Allah swt.

Firman Allah: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (QS Al Isra[17:36).

Dengan demikian, manusia bebas melakukan apapun sekehendak hatinya, namun ia sendiri yang mendapatkan hasilnya, seberengsek apapun manusia dengan kejelekan amalnya, ia harus siap menanggung akibatnya, bahkan syaitan yang telah menjerumuskannya pada amal yang jelek dan nista tidak mau disalahkan dalam kehidupan di akhirat nanti meskipun manusia melakukan kejelekan karena menuruti godaan syaitan.

Hal ini diceritakan oleh Allah swt tentang apa yang akan terjadi dalam kehidupan di akhirat nanti dalam firman-Nya: "Dan berkatalah syaitan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan: Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan akupun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku akan tetapi cercalah dirimu sendiri. aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamupun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih" (QS ibrahim [14]:22).

Sumber : Khairu Ummah



Saturday 2 January 2010

Contact Us

To contact or send message for www.generasi-muslim.co.cc admin, fill the form below and give your message.



Name (Required):




Email (Required:




Job




Message




Terimakasih atas email anda. Dalam waktu dekat saya akan membalas email anda.


Thank you for your email. I will reply your email soon








This online form was provided by Freedback.







Tanda-Tanda Ekstremitas dalam Beragama

1. Ta’ashub (fanatisme buta) pada satu pendapat dan menyalahkan pendapat yang berbeda dengannya walaupun pendapat yang lain itu terdapat dalil yang kuat.

Hal ini misalnya dengan menuduh fasik dan durhaka kepada orang yang berbeda pendapat dengannya. Yang sangat mengherankan adalah di antara mereka hanya menerima ijtihad bagi dirinya dan kelompoknya dalam masalah-masalah yang sangat pelik dan rumit istinbath hukumnya, tetapi menolak ijtihad para ulama spesialis baik perorangan maupun kelompok untuk berijtihad berbeda dengan pendpt mereka tersebut. Seolah-olah mereka berkata pada anda: “Hakku untuk berbicara dan berpendapat dan kewajibanmu hanyalah mendengarkan dan taat. Pendapatku benar dan tidak pernah salah

sementara pendapatmu salah dan tidak pernah benar.” Yang lebih berbahaya lagi jika sikap ini diikuti dengan membawa tongkat pemukul, yang bukan terbuat dari besi atau kayu melainkan berupa tuduhan seperti bid’ah, kufur, sesat, dan sebagainya. Kita berlindung kepada ALLAH SWT dari yang demikian…

2. Mewajibkan kepada manusia sesuatu yang tidak diwajibkan ALLAH SWT atas mereka.

Tidak ada larangan bagi seseorang untuk mewajibkan untuk dirinya tentang suatu pendapat sepanjang berdasarkan dalil, tetapi syariat tidak dapat menerima jika ia lalu mewajibkannya juga kepada orang lain, karena kemampuan dan keinginan ummat berbeda-beda, bukankah ALLAH SWT berfirman tentang sifat Nabi SAW: “…menghalalkan segala yang baik bagi mereka mengharamkan segala yang buruk, serta membuang beban-beban berat dan melepaskan belenggu yang ada pada diri mereka.” (QS al-A’raaf: 157)

Termasuk dalam hal ini adalah juga mengkafirkan hanya karena mereka berbeda dalam hal-hal yang masih diperselisihkan dan memungkinkan terjadinya perbedaan dalam penafsiran dan istinbath hukumnya.

3. Selalu memperberat saat ada kesempatan untuk memilih.

Seperti memperlakukan negara bukan Islam sebagai negara Islam, atau memperlakukan aturan Islam secara ketat bagi semua kaum muslimin tanpa melihat tingkat keimanan dan pengetahuan mereka tentang Islam. Hendaknya pendekatan fiqh dakwah digunakan saat mensikapi dan menyampaikan dakwah, yaitu memusatkan pada hal-hal yang ‘ushul’ (pokok, dasar) dalam agama, dan pendekatan fiqh dakwah ini merupakan ketetapan sunnah Nabi SAW, sebagaimana pesan Nabi SAW saat mengutus Mu’adz untuk berdakwah ke Yaman (HR Bukhari Muslim).

Seperti sikap bersikeras melarang duduk di atas kursi dengan alasan hal tersebut bukan sunnah Nabi SAW, melarang wanita berbicara dalam diskusi karena takut terkena fitnah, melarang menggunakan celana karena merupakan cara orang Barat, mewajibkan memakai gamis, dan sebagainya.

4. Mudah memvonis dan mengkafirkan.

Padahal ALLAH SWT menyebutkan dalam al-Qur’an: “Serulah manusia kepada jalan RABB-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS an-Nahl: 125). Dalam ayat yang lain disebutkan: “Maka karena rahmat ALLAH kepadamu maka kamu bersikap lemah-lembut kepada mereka, dan jika sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar maka mereka akan lari dari sekelilingmu.” (QS ali-Imran: 153).

Bahkan kepada Fir’aun saja untuk dakwah pertamanya ALLAH SWT memerintahkan Musa as untuk bersikap lembut: “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun sesungguhnya ia telah durhaka. Bicaralah kamu berdua kepadanya dengan lembut, mudah-mudahan ia menjadi ingat dan takut” (QS Thaha: 43-44). Barulah setelah Fir’aun menolak dan mengabaikan dakwah, maka Musa as mendoakan kecelakaan untuknya.

5. Buruk sangka (su’uzhan) kepada para Ulama Islam.

Yaitu memandang mereka selalu dengan kacamata hitam, selalu menyembunyikan kebenaran dan kebaikan mereka dan membesar-besarkan keburukan dan kesalahan mereka. Mereka menganggap kesalahan kecil dalam masalah ijtihad sekalipun sebagai sebuah dosa besar dan menabuh genderang perang terhadap pelakunya.

Jika ada sebuah fatwa yang mengandung 2 kemungkinan yaitu kebaikan dan keburukan, maka mereka serta-merta mengambil sisi buruknya, hal ini sangat berbeda dengan sikap salafus-shalih yang selalu berkata: “Sungguh aku selalu mencarikan alasan pembenaran bagi pendapat saudaraku sampai 70 kali, setelah itu akupun masih berkata: Mungkin masih ada alasan lain yang belum kuketahui..” Nabi SAW bersabda: “Jika kalian mendengar seorang menyatakan: Manusia lainnya telah celaka, maka orang itulah yang paling celakan diantara mereka.” (HR Muslim)

6. Bahaya pengkafiran.

Akumulasi dari ekstremitas mencapai puncaknya jika seorang sudah bermain dengan label pengkafiran. Sikap inilah yang telah membinasakan kaum Khawarij, sekalipun mereka adalah kaum paling hebat dalam pelaksanaan berbagai ibadah dalam sejarah Islam, tetapi mereka celaka karena telah terjerumus kepada jurang pengkafiran kepada ummat Islam yang lain bahkan pada para ulama ummat seperti khalifah Ali ra.

Kelompok ini karena kerendahan ilmunya tidak mengetahui bagaimana kemarahan Rasul SAW yang luar biasa terhadap anak dari anak angkatnya yang paling disayanginya yaitu Usamah bin Zaid ra, ketika mendengar Usamah membunuh seorang kafir yang telah mengucapkan syahadah saat terdesak dalam peperangan. Walaupun Usamah ra telah memberikan argumentasi: “Wahai RasuluLLAH ia hanya mengucapkan itu karena takut dengan pedang.” Maka jawab Nabi SAW: “Mengapa tidak engkau belah dadanya (jika bisa mengetahui isi hatinya)?” Maka jawab Usamah ra: “Ya RasuluLLAH, mohonkan ampun bagi saya.” Maka jawab Nabi SAW: “Apakah yang akan engkau perbuat jika nanti di hari Kiamat berhadapan dengan La ilaha illaLLAH??” Selanjutnya kata Usamah ra: “Tidak henti-hentinya Nabi SAW mengulang-ulang pertanyaannya itu, sampai aku menginginkan alangkah inginnya jika saat itu aku baru masuk Islam karena takutnya.”

Haramkah Menggunakan Logika dan Akal

Pertanyaan

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

ustad, saya mau tanya. Saya bingung.

Selama ini saya membaca dalam Al-Qur'an bahwa Allah sangat mendukung sekali ssorg yg menggunakan akalnya. BAnyak ayat2 terkait yg menunjukkan bahwa ayat2 Allah hanya bisa dipahami oleh orang2 yang berakal, namun sering teman2 seperjuangan mengatakan bahwa kita tidak boleh menggunakan akal / logika dalam agama ?

Mengapa ada semacam sekulerisme / pemisahan antara akal dalam khidupan sosial dan agama? apa memang akal saat ini telah menjadi haram ?? jika haram, lantas untuk apa Allah Menciptakan akal pada manusia yg justru membedakannya dengan makhluk yang lain.

Syukron atas jawabannya ustad

Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

indri


Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Dalam konsep Islam, dalil akal dengan dalil wahyu, diposisikan seiring dan sejalan. Dalil wahyu tanpa didukung dengan dalil akal akan mengalami kebingungan. Sebaliknya, dalil akal tanpa dikawal dengan dalil wahyu, juga akan tersesat. Maka keduanya berjalan bersamaan, bukan dipertentangkan. Mempertentangkan kedua, seolah-olah keduanya bermusuhan, adalah tindakan tidak masuk akal, sekaligus juga tidak bisa diterima secara wahyu.



Islam tidak mengharamkan kita menggunakan akal. Yang diharamkan adalah bila akal digunakan bukan pada tempatnya. Sebenarnya bukan hanya akal yang haram digunakan bukan pada tempatnya. Apapun yang berharga dan berguna, tapi kalau digunakan bukan pada tempatnya, tentu tidak bisa dibenarkan.

Sebagai ilustrasi, akal mengatakan bahwa tanah itu kotor. Tapi disisi lain, Quran menetapkan bila kita mau wudhu tapi tidak ada air, maka kita disyariatkan untuk tayammum dengan menggunakan tanah. Dalam kasus ini, akal tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk menolak hukum Al-Quran, apalagi untuk menolak kebenaran yang ada di dalamnya.

Mengapa dalam perkara tayammum ini kita tidak menggunakan akal yang mengatakan bahwa tanah itu kotor?

Jawabnya, karena perkara tayammum memang buka konsumsi akal. Tujuan bertayammum adalah berthaharah, bukan membersihkan diri. Keduanyang memang berbeda. Berthaharah adalah bersuci secara ritual yang patokannya ayat atau hadits. Sedangkan membersihkan diri adalah menjaga kebersihan yang rujukannya menggunakan akal.

Tetapi dalam kasus yang lain, akal bisa berjalan seiring dengan agama. Bahkan syarat untuk beragama, seseorang harus berakal. Bila seorang tidak berakal, lalu dia menjalankan hukum-hukum agama, maka apa yang dilakukan itu justru tidak diterima Allah SWT.

Karena itulah orang gila tidak diwajibkan untuk menjalankan agama, karena orang gila tidak punya akal. Demikian juga anak kecil tidak dikenakan hukum dosa, karena anak kecil belum sempurna akalnya. Bahkan orang yang tidur juga tidak dikenakan perintah, karena akalnya sedang istirahat. Cuma begitu dia bangun, dia wajib mengerjakan kewajibannya.

Bahkan orang yang sedang puasa, tapi karena lupa, lantas dia makan dan minum, tidak dianggap batal puasanya. Hal itu karena saat itu akalnya sedang tidak berjalan dengan sempurna.

Maka kita tidak bisa mengatakan bahwa selamanya akal itu bertentangan dengan agama. Akal punya banyak kesempatan untuk berjalan beriringan dengan agama. Bahkan dalam porsi tertentu, akal memang harus lebih dikedepankan dari pada dalil-dalil yang jumlahnya terbatas.

Sebagai misal, dahulu Rasulullah SAW membayar zakat dengan kurma. Hal ini didukung dengan dalil-dalil hadits yang shahih. Sebaliknya, kita belum pernah mendapati dalil yang mengatakan bahwa beliau membayar zakat dengan beras, jagung atau makanan lainnya.

Dengan menggunakan nalar dari akal, ketika seseorang hidup di negeri yang tidak ada kurma, atau bangsa itu memang tidak makan kurma sebagai makanan pokoknya, maka secara logika, kita tidak bisa memaksakan harus membayar zakat dengan kurma. Nalar akal kita akan mengatakan bahwa yang diperintahkan untuk dibayarkan sebagai zakat bukan kurma, melainkan makanan pokok yang dimakan bangsa itu.

Akal kita mengatakan bahwa Rasulullah SAW membayar zakat dengan kurma, lantaran beliau tinggal di negeri yang makanan pokoknya adalah kurma. Sementara, kalau ada suatu bangsa yang makanan pokoknya beras, maka mereka membayar zakat dengan beras, bukan dengan kurma.

Dalam contoh ini, akal punya peranan dan harus digunakan untuk menganalisa suatu dalil, lantas memahaminya dengan cara yang masuk akal dan tentu menggunakan kaidah yang bisa diterima.

Logika dan akal tidak selamanya harus dipertentangkan dengan dalil-dalil syar'i. Pada gilirannya, justru untuk menangkap pesan yang tersirat di balik dalil yang tersurat, kita perlu menggunakan akal.

Tetapi dengan catatan, akal yang digunakan bukan akal-akalan, yang tujuannya sekedar untuk mengakali dalil-dalil syar'i. Tujuan digunakannya akal dalam memahami dalil-dalil syar'i, justru untuk mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya.

Karena itu, akal tidak dibiarkan secara liar bermain-main dengan logika. Maka untuk itu ditetapkanlah kaidah-kaidah serta dasar-dasar pengambilan kesimpulan hukum dari dalil-dalil quran dan sunnah.

Secara sederhana, kaidah dan dasar itu kita sebut ilmu fiqih dan ilmu ushul fiqih. Keduanya, sangat membutuhkan akal dan nalar serta logika dalam menjalankan perannya. Tetapi tetap berada pada koridor yang benar.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

- dari: rubrik konsultasi syariah warnaislam.com -

/
 

Tags

My Blog List

Followers

generasi muslim Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template